Payudara Besar Ada Hikmahnya


Sebenarnya aku adalah wanita yang sangat bersyukur. Segala pemberian Tuhan, selalu aku hargai dan nikmati. Rezekiku, jodohku, atau kesehatanku, selalu kusyukuri, termasuk (maaf) payudaraku ini.

Menurut banyak orang, payudaraku sangat besar. Jauh lebih besar dari Dolly Parton. Berita tersebut bukan gosip, tetapi memang aku dapatkan dari beberapa temanku. Itu jika ada pria atau wanita yang malu mengatakan langsung padaku, kalau payudaraku besar. Bos di kantorku dan salah satu kakakku, juga mengatakan hal yang sama. Orangtuaku? Ah, sepertinya mereka belum pernah mengatakan padaku. Barangkali mereka tidak pernah berani jujur bilang padaku:

“Nak, hati-hati dengan payudaramu. Payudaramu itu besar. Karena besar, biasanya banyak lelaki iseng yang melakukan pelecehan seksual padamu. Hati-hati ya, Nak.”

Orangtuaku belum pernah mengatakan itu padaku, even ibuku. Ah, ibuku memang terlalu sibuk dengan berita-berita infotainment. Dia termasuk pembela number one agar Ariel dibebaskan. Katanya: “What’s wrong with Ariel? Everybody do what Ariel did? And I like to be Luna Maya”. Gila kan? Masa “penjahat kelamin” disukai?

Bukan cuma infotainment yang membuat ibuku jadi “gila”, tetapi reality show yang nggak reality itu: Termehek-Mehek dan Opera van Java. Kata ibuku: “OvJ itu lucu abis! Aku gemes sama Sule yang hidungnya pesek itu”. Tiap gemes sama OvJ, ibuku selalu memukul-mukul kepala bapakku hingga benjol dan memencet-mencet hidung bapakku sampai pesek, ya meniru adegan yang ada di OvJ yang selalu berisi adegan dorong-mendorong, memukul, menghina, dan lain sebagainya.

Ah, lupakan ibuku. Back to me.

Aku tak tahu mengapa Tuhan memberiku payudara sebesar ini. Padahal tak ada keturunan dari keluargaku yang memiliki payudara sebesar aku ini, termasuk payudara nenekku, tanteku, juga mamaku. Aku sudah cek satu per satu ke kelurahan dan melihat di biodata keturunan-keturnanku, bahwa rata-rata ukuran payudara mereka mentok 32. Sementara payudara saya lebih dari 40D. Besar kan?

Sebenarnya tubuhku cukup proporsional dengan ukuran payudaraku ini. Tidak gendut, tidak juga kurus. Tinggiku pun juga lumayan. Dengan tinggi 170 cm dan berat 60 kg masih cukup proporsional dong? Dengan keproporsionalan ini barangkali yang membuatku tampak seksi. Bukan aku, lho, yang mengatakan seksi, tapi beberapa orang yang dekat denganku.

“Elo tuh emang seksi abis, bo!”

Dulu aku punya pacar, tapi sekarang tidak. Baru putus. Kejadian putus dengan pacar seperti ini sudah berulangkali terjadi. Ya kalau tidak salah sudah enam kali. Jadi aku sudah terbiasa. Anda tahu apa penyebab aku selalu putus dengan pacar-pacarku? Payudaraku ini!

Gara-gara payudaraku, mantan pacar-pacarku selalu minta putus. Mereka tak kuat. Mereka tak tahan menjadi pusat perhatian dari orang-orang sekitar. Lho kok? Yap! Setiap pasang mata, entah itu pria iseng atau setengah iseng, wanita karir atau bukan, mereka yang sedang makan atau sedang dalam satu lift di mal, selalu memandangkiku, lebih tepatnya memandangi payudaraku.

Pada saat kami lunch, dinner, atau nongkrong di cafe, nonton bioskop, fitness, atau pergi ke salon, selalu ada yang memperhatikan. Keadaan itulah yang membuat mantan pacar-pacarku tak nyaman. Tak ada lagi ruang pribadi untuk kami berpacaran. “Aku yang seharusnya menikmati kamu, tetapi kenapa mereka ikut menikmati kamu juga?” begitu kata mantan pacar-pacarku.

Aku bukan anak orang kaya, tetapi juga tidak miskin-miskin amat. Aku cuma karyawan biasa yang kebetulan gajiku belum cukup untuk mencicil mobil. Jadi setiap hari aku selalu menggunakan jasa angkutan umum. Dari rumah naik bajaj, turun di halte naik mikrolet, dan kemudian naik bus kota.

Nah, kondisi tersebut menjadi masalah lagi buatku. Gara-gara payudaraku yang sangat besar ini, aku seringkali kesulitan naik bus kota, apalagi pada saat jam-jam sibuk.

Buat Anda yang terbiasa naik bus kota, pasti sudah terbiasa melihat penumpangberdesak-desakan di saat jam berangkat maupun pulang kantor. Itu sudah menjadi pemandangan umum, bukan? Saling berkejaran, berebut untuk dapat masuk ke dalam bus kota, begeser-geser ke tengah bus, dan berdempetan. Persis ikan sarden Meski sudah penuh, sang kondektur tidak peduli, semua penumpang harus merapat. Kondisi itu yang membuat diriku selalu menjadi objek pelecehan seksual.

Sebetulnya aku bisa saja menolak jika harus didorong-dorong oleh penumpang lain, karena takut bersentuhan dengan pria-pria yang bukan muhrim, pria-pria iseng yang ingin memanfaatkan momentum kepadatan itu dengan menyenggol payudaraku. Sebenarnya aku bisa saja berteriak jika ada pria-pria iseng yang berusaha menyentuh-nyentuh payudaraku yang besar ini. Tapi aku tak kuasa. Dan lagi, pasti mereka akan membuat pernyataan:

“Kalo gak mau ikut berdempet-dempetan di bus, kenapa gak naik taksi aja?”

Atau…

“Siapa suruh punya payudara gede?”

Oalah! Kok menyalahkan payudara? Kalau mereka menyalahkan payudara, itu sama saja menyalahkan Sang Pencerah, eh maaf Sang Pencipta payudara ini, yakni Tuhan Yang Maha Esa.

Ada lagi persoalan.

Selama ini aku menggunakan bra buatan sendiri. Itu tidak enak. Bahannya gatal dan membuat payudaraku bentol-bentol. Oleh karena itu, sebagai wanita normal, aku perlu bra yang dijual di toko-toko. Bra yang bisa menopang payudaraku agar bentuknya tetap indah berseri. Sebab kata orang, kalau payudara tidak disangga oleh bra, maka akan kendur. Aku tidak mau payudaraku kendur. Namun sayang, gara-gara payudaraku yang sangat besar ini, aku kesulitan mencari bra. Kata pelayan toko, aku harus memasan bra, karena nomor braku khusus dan dengan merek khusus pula. Yang dijual di toko cuma no 32, 34,dan 36. Oalah! Masa aku harus tetap menaggunakan bra yang bikin gatal payudaraku itu?

Gara-gara kejadian itu semua, aku akhirnya memutuskan untuk melakukan operasi plastik. Operasi untuk mengecilkan payudaraku. Menurutku operasi adalah jalan satu-satunya yang bisa aku lakukan saat ini. Anda pasti juga setuju dengan keputusanku ini? Atau Anda -khususnya para pria- masih penasaran dengan bentuk payudaraku dan ingin melihatnya dulu dan baru komentar:

“Kenapa harus dioperasi?”

“Banyak wanita yang ingin punya payudara besar seperti kamu, kenapa kamu mau mengecilkan? Sayang, lho!”

“Kalo kamu operasi, berarti kamu tidak menghormati pemberian Tuhan…”

“Kamu harusnya nggak usah operasi, karena kamu memberikan rezeki pada orang lain, karena orang lain menikmati payudaramu…”

Hey, come on! Anda tidak mengalami apa yang aku alami. Aku ingin menjadi wanita normal, dimana punya pacar yang awet, tidak mengalami pelecehan seksual di bus kota, atau bisa membeli bra yang ukurannya ada di toko. Aku ini menderita! Dan aku memutuskan untuk menghentikan penderitaan ini. Titik!

Sebelum memutuskan operasi, aku minta maaf pada Tuhan. Bukan karena aku tak mensyukuri ciptaan-Nya, tapi aku ingin hidupku normal. Normal seperti wanita-wanita lain. Biar banyak yang bilang payudara adalah ‘aset’ wanita; biar banyak wanita yang ingin memperoleh payudara idaman seperti diriku; namun aku tidak akan mundur dari keputusanku untuk operasi.

Ya, aku tahu, payudara menjadi simbol kewanitaan yang paling menonjol dan penunjang untuk tampil seksi. Aku juga tahu, di Jepang, saat ini ada teknologi yang memungkinkan payudara Anda besar dan seksi, yakni dengan sarung tangan yang dialiri gelombang elektromagnetik dengan voltase rendah. Miracle glove, begitu sebutan metologi baru pembesar payudara ini.

Ada lagi metode Dura Breast Treatment. Prosesnya adalah dengan menggunakan alat vibrator yang menstimulasi kolagen di payudara, sehingga payudara akan padat, kencang, dan tampak besar. Selain menggunakan vibrator, juga dilakukan pijatan, mikro kristal, dan juga dura flash toning.

“Tapi kubukan superstar. Ku bukan Sarah Azhari, Tamara Blesynski, atau model Catherine Wilson yang selalu menjaga payudara mereka agar tetap montok berseri. Aku adalah aku. Pilihanku adalah operasi!”

Hari itu, aku datang ke tempat praktek dokter bedah yang berada di salah satu wilayah elit di kota ini. Nama dokter itu cukup terkenal. Banyak selebritis yang datang ke sana, entah itu ingin mempermak wajah, memancungkan hidung, atau memperbesar payudara. Sedangkan aku justru datang untuk mengecilkan payudaraku.

“Nyonya A……!”

“Saya bu!”

Namaku dipanggil suster. Sebelum masuk, aku sempat melihat suster itu mencuri pandang ke arahku. Bukan ke wajahku, tetapi ke arah payudaraku. “Iseng amat sih suster melihat-lihat payudaraku? Memangnya dia nggak punya payudara apa?” pikirku. Moga-moga, suster ini adalah orang terakhir yang iseng seperti itu.

Aku masuk ke ruang praktek dokter.

Setelah masuk, aku dipersilakan duduk oleh suster, sementara itu sang dokter yang berada tepat di depanku masih sibuk menulis. Ia belum sempat melihatku. Sang suster berdiri di samping tempat duduku.

Aku tak tahu dokter itu menulis apa. Beberapa kali aku memandangi dokter itu. Wajahnya tampan sekali, mirip George Clooney. Aku kira, usianya belum terlalu tua. Kesimpulan ini aku ambil gara-gara aku tak melihat sama sekali uban di rambutnya, atau kerut-kerut di keningnya.

Beberapa menit kemudian…

Dokter itu meletakkan alat tulisnya. Seketika wajahnya takjub melihatku. Gara-gara takjub, kursinya hampir terjatuh, karena badan sang dokter menghajar sandaran kursi. Dokter kaget, aku pun ikut kaget. Suster juga kaget. Bahkan suster ini mengeluarkan kata-kata jorok, karena ternyata ia latah.

Saya dan dokter tertawa terbahak-bahak.

Tawa kami itu ternyata menjadi awal perbincangan kami menjadi ringan. Aku tidak seperti diinterogasi selayaknya dokter pada pasien. Tetapi aku merasa nyaman dengan kalimat-kalimat yang dikeluarkan sang dokter. Awalnya aku pikir dokter ini sama dengan pria-pria lain, termasuk suster tadi yang melihat payudarku. Tapi batinku berkata lain. Tatapan dokter bedah plastik ini nampak berbeda. Ia tulus.

“Sudah menikah?”

Aku jawab belum, dan dokter itu tersenyum. Kami sama-sama tersenyum. Sejak hari itu, aku menemukan kakasih baru. Dokter bedah plastik itu. Aku tidak jadi operasi gara-gara dokter yang mirip George Clooney ini.

Dokter ini menyukaiku apa adanya, termasuk payudaraku yang sangat besar ini. Dia tak peduli dengan orang-orang sekitar yang melecehkan kebesaran payudaraku ini, atau lelaki-lelaki iseng, atau wanita-wanita yang cemburu ketika kami berjalan di mal, ketika kami dinner, nonton bioskop, atau nongkrong di cafe.

Cinta sang dokter itu tulus. Dokter ini memang sudah lama mencari calon istri yang payudaranya besar. Beberapa kali berhubungan dengan wanita, beberapa kali itu pula dokter itu kecewa, karena dari beberapa wanita yang didekatinya tak memiliki payudara besar dan sempurna. Ada wanita yang punya payudara besar, tapi cuma sebelah. Ada yang payudaranya besar, tapi begitu branya dibuka, payudaranya turun semua. Ada pula wanita yang payudaranya mengempis begitu waktunya lewat jam 12 malam, persis Cinderella yang tak boleh cantik lebih dari jam 12 malam.

Dokter ini sempat frustrasi, karena tak menemukan wanita idamannya. Wanita yang juga siap menjadi ibu dari enam bayi kembar yang tiga bulan lalu baru ditinggal mati ibunya, yang setiap pagi meraung-raung minta air susu ibu. Sampai akhirnya Dokter menemukanku. Ia ingin aku menyusi enam bayi itu dan aku siap sedia. Aku juga menyukainya, karena Dokter ini selalu mengingatkanku agar tetap bersyukur dengan apa yang sudah diberikan Tuhan.

“Tak banyak wanita spesial seperti kamu. Tak banyak ibu-ibu yang seberuntung kamu, yang punya bayi tapi tak bisa memproduksi air susu. Kamu harus bersyukur, produksi air susu kamu pasti akan banyak. Kamu tahu, air susu ibu bisa menjadikan anak sehat dan pintar.”

Memang tidak semua wanita yang payudaranya besar bisa memproduksi air susu. Memang wanita yang memiliki payudara kecil belum tentu tidak punya susu. Namun banyak wanita yang punya payudara besar atau kecil, tidak tertarik memberi ASI pada anak-anak mereka. Tapi aku? Salah satu impianku adalah menyusui anakku sendiri selama mungkin. Aku tak ingin seperti ibu-ibu lain yang lebih suka memilih sayang payudara daripada bayi-bayi mereka. Lebih suka meninggalkan anak-anak mereka demi menyanyi, main sinetron, main film, difoto. Aku tidak ingin anak-anakku menjadi anak formula atau anak kaleng.

Padahal banyak sekali manfaat ASI. Anda tahu, pada umur 6 sampai 12 bulan, ASI masih merupakan makanan utama bayi, karena mengandung lebih dari 60% kebutuhan bayi. IQ pada bayi ASI lebih tinggi 7-9 point daripada IQ bayi non-ASI. Menurut penelitian pada tahun 1997, kepandaian anak yang minum ASI pada usia 9 1/2 tahun mencapai 12,9 poin lebih tinggi daripada anak-anak yang minum susu formula. ASI mengurangi resiko infeksi lambung-usus, sembelit, dan alergi. Dengan adanya kontak mata dan badan, pemberian ASI juga memberikan kedekatan antara ibu dan anak. Bayi merasa aman, nyaman dan terlindungi, dan ini mempengaruhi kemapanan emosi si anak di masa depan.

Dokter itu benar-benar telah menyadarkanku. Bahwa memiliki payudara besar tidaklah rugi. Mungkin payudara besar saya tidak menyumbang devisa besar untuk Republik ini sebagaimana TKI, namun sangat berguna bagi anak-anak dan tentu bagi sang suami. Suami jadi puas ketika berhubungan di atas ranjang. Soal nomor bra yang tidak ada di toko bra, ah itu no big deal. Selama pabrik bra masih berdiri, aku bisa memesan sendiri. Sekarang pun tidak perlu naik kendaraan umum, tetapi naik kendaraan sendiri, karena sudah punya suami.

“Ah, ternyata ada hikmahnya juga punya payudara besar.”
ShowHideComments