Tax Planning
Praktik akuntansi yang bertujuan untuk mengurangi beban pajak usaha disebut dengan tax planning. Tax planning merupakan upaya perencanaan pajak yang dilakukan oleh perusahaan untuk memaksimalkan penghematan pajak dengan cara memanfaatkan celah hukum atau ketentuan perpajakan yang berlaku. Beberapa contoh praktik akuntansi yang dilakukan dalam tax planning antara lain:
Pemilihan Jenis Usaha
Pemilihan jenis usaha dapat dilakukan untuk memanfaatkan jenis usaha yang memperoleh perlakuan khusus dalam peraturan perpajakan. Misalnya, usaha yang bergerak di bidang industri manufaktur memiliki potensi penghematan pajak yang lebih besar dibandingkan usaha yang bergerak di bidang perdagangan.
Pemanfaatan Potongan Pajak
Perusahaan dapat memanfaatkan potongan pajak yang disediakan oleh pemerintah, seperti potongan pajak untuk investasi atau pembelian barang tertentu, untuk mengurangi beban pajak yang harus dibayar.
Pemilihan Metode Pencatatan
Pemilihan metode pencatatan yang tepat dapat membantu perusahaan untuk mengurangi beban pajak. Misalnya, dengan menggunakan metode FIFO (First In First Out) dalam pencatatan persediaan, perusahaan dapat memperoleh penghematan pajak yang lebih besar.
Pengalihan Beban Pajak
Pengalihan beban pajak dapat dilakukan dengan cara melakukan transfer pricing, yakni dengan menetapkan harga jual dan harga beli antara perusahaan dalam satu grup usaha yang berbeda agar terdapat selisih harga.
Dengan cara ini, beban pajak dapat dialihkan ke perusahaan yang memiliki tarif pajak yang lebih rendah. Namun, perusahaan harus memperhatikan batasan dan ketentuan yang berlaku dalam melakukan tax planning, sehingga tidak melanggar peraturan perpajakan yang berlaku dan menghindari risiko sanksi dari pihak berwenang.
Contoh perhitungan transfer pricing untuk menghemat pajak
Transfer pricing merupakan strategi tax planning yang dilakukan perusahaan untuk memindahkan laba atau beban pajak dari suatu negara ke negara lain yang memiliki tarif pajak yang lebih rendah.
Berikut ini adalah contoh perhitungan transfer pricing untuk menghemat pajak: Misalkan perusahaan A yang berbasis di Indonesia memproduksi barang dan menjualnya ke perusahaan B yang berbasis di negara lain. Perusahaan A dan B merupakan bagian dari grup usaha yang sama. Tarif pajak di negara asal perusahaan A adalah 25%, sementara di negara tujuan perusahaan B adalah 15%. Jika perusahaan A menjual barang tersebut dengan harga Rp 10.000.000, maka laba yang dihasilkan sebesar Rp 2.000.000 (20% dari harga jual). Dalam transfer pricing, perusahaan A dapat menetapkan harga jual yang lebih rendah, misalnya Rp 7.500.000, sehingga laba yang dihasilkan menjadi Rp 500.000 (20% dari harga jual). Dalam hal ini, perusahaan A bisa menghemat pajak sebesar Rp 375.000, karena tarif pajak di negara tujuan hanya 15%, sedangkan tarif pajak di negara asal perusahaan A adalah 25%. Dengan cara ini, perusahaan A memindahkan beban pajak ke perusahaan B yang memiliki tarif pajak yang lebih rendah. Namun, perusahaan harus memperhatikan batasan dan ketentuan yang berlaku dalam melakukan transfer pricing, sehingga tidak melanggar peraturan perpajakan yang berlaku dan menghindari risiko sanksi dari pihak berwenang. contoh perhitungan metode pencatatan akuntansi yang hemat pajak vs yang pajaknya tinggi Metode pencatatan akuntansi yang digunakan dapat mempengaruhi besaran beban pajak yang harus dibayarkan oleh suatu perusahaan.
Berikut ini adalah contoh perhitungan metode pencatatan akuntansi yang hemat pajak vs yang pajaknya tinggi: Misalkan sebuah perusahaan melakukan penjualan sebesar Rp 1.000.000.000 dengan biaya produksi sebesar Rp 700.000.000. Dalam hal ini, laba bruto yang dihasilkan adalah Rp 300.000.000. Jika perusahaan menggunakan metode LIFO (Last In First Out) dalam pencatatan persediaan, maka harga pokok penjualan (HPP) akan dihitung berdasarkan harga barang terakhir yang dibeli.
Dalam contoh ini, asumsikan perusahaan membeli barang terakhir dengan harga Rp 500.000.000. Dalam hal ini, HPP yang dihitung adalah sebesar Rp 700.000.000 + Rp 500.000.000 = Rp 1.200.000.000.
Dengan demikian, laba yang dihasilkan hanya sebesar Rp 800.000.000. Sementara jika perusahaan menggunakan metode FIFO (First In First Out) dalam pencatatan persediaan, maka HPP akan dihitung berdasarkan harga barang yang paling awal dibeli. Dalam contoh ini, asumsikan perusahaan membeli barang pertama dengan harga Rp 300.000.000. Dalam hal ini, HPP yang dihitung adalah sebesar Rp 300.000.000 + Rp 700.000.000 = Rp 1.000.000.000. Dengan demikian, laba yang dihasilkan adalah sebesar Rp 1.000.000.000. Dari contoh perhitungan di atas, terlihat bahwa penggunaan metode FIFO dapat menghasilkan laba yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode LIFO. Oleh karena itu, penggunaan metode FIFO dapat membantu perusahaan menghemat pajak yang harus dibayarkan.
Namun demikian, perusahaan harus memperhatikan peraturan perpajakan yang berlaku dan menghindari melakukan tindakan yang melanggar hukum atau menghindari pajak dengan cara yang tidak sah.
Komentar
Posting Komentar